Minggu, 13 Agustus 2017

Luka Pernikahan

Jika pernikahan adalah perlombaan, maka seharusnya saya sudah ada di garis finish. Namun, sayangnya pernikahan tak mengenal kata finish. Bahkan sampai berhadapan dengan malaikat munkar nakir pun.

Jika pernikahan adalah perlombaan, maka kematian seharusnya pun menjadi ajang perlombaan. Namun, sayangnya kematian tidak banyak pesertanya. Padahal itu hal yang pasti dibanding pernikahan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dear, ayah ibu...
Jika pernikahan adalah hal yang penting untuk putrimu.
Jika putrimu harus dipersunting oleh pangeran yang rupawan dan dari kalangan bangsawan.
Maka perlakukanlah putrimu layaknya permaisuri bangsawan pula.

Jangan kau caci ia, dengan sebutan perawan tua
Jangan kau umpat ia, dengan sebutan pemilih rupa
Jangan kau cela ia, dengan sebutan tak berharga
Sedangkan kau terus tumpuk pundaknya dengan berbagai macam kriteria
Dan saat bersamaan pula kau terus tumpuk pundaknya dengan berbagai macam luka

Bagaimana mungkin ia menjadi cinderella dalam satu malam??? Sedangkan ia bukanlah putri dalam dongeng kau ceritakan dulu setiap malam.
.
"Terimakasih untuk setiap luka Mamah, Bapak, Teteh... Ini begitu berharga."

Minggu, 11 Juni 2017

Ngomong Nikah Mulu. Yuk, ngaca!!!

Pernikahan.
Mungkin, ketika mendengar kata itu orang2 terdekatku akan melirik padaku.
Ada yang sekedar ber-"cie.. Cie..."
Bahkan ada pula yang langsung menarik lenganku ke pojokan dan bertanya serius, "jadi kapan?"

Tahukah teman-teman.
Saya tahu bahwa pernikahan itu katanya sesuatu yang indah. Namun, nyatanya saya menemukan fakta di sekialtar saya yang mengerikan, yang saya sendiri tak sanggup untuk menengoknya.

Saya tahu bahwa pernikahan adalah menggenapkan separuh agama. Dan berarti menjaga dan merawat sebuah pernikahan sama seperti menjaga dan merawat sebuah agama.
Namun, nyatanya menyempurnakan agama yang masih sepotong ini saja masih ketar ketir.

Saya tahu teman, rukun menikah versiNya itu hanya kedua mempelai, wali, saksi, mahar dan ijab qabul.
Namun nyatanya, saya menemukan realita yang lebih sadis, yaitu rukun nikah versi manusia.

Saya tahu teman, menikah itu ibarat berlayar mengarungi gelombang samudra bersama.
Namun nyatanya, sudahkah kita menentukan pulau tujuan kita? Atau bahkan kita saja tidak tahu apa saja SOP seorang Nahkoda, tidak tahu cara membaca peta, tidak tahu apa-apa.

Maka boro-boro berlayar teman, cara berlayarnya saja tidak tahu...
.
Kata mentor pernikahan saya:
"Pernikahan HARMONIS bukanlah pernikahan yang tidak ada KONFLIK didalamnya. Namun, pernikahan harmonis adalah pernikahan yang mampu memanaje konflik secara DEWASA. Karena pernikahan harmonis adalah WARISAN terbaik untuk anak-anak kita"
.
Bagi saya menikah, tidak sama dengan lomba marathon. Toh, kalau menurutmu itu sama, saya sudah terbiasa kalah lomba lari, dan itu bukan problem buat saya. Karena saya bisa mengalahkan kalian dibidang-bidang lain.
Bagi saya menikah bukan soal umur, saya tak secuil pun iri melihat kalian yang sudah menikah duluan. Why? Karna saya sibuk mempersiapkan diri saya untuk membangun pernikahan yang berkualitas dan tak sedekar berkuantitas.
.
Saya tidak mau mewarisi keturunan saya dengan pernikahan yang ala kadarnya. Karena tugas saya setelah menikah adalah melahirkan generasi yang lebih dahsyat dari saya. Bukan generasi alay kaya saya, sebut saja begitu.
.
Apalagi saya seorang perempuan.
Saya akan menjadi dunia untuk suami saya dan anak saya kelak. Jika dunia nya bobrok, apa kabar penghuninya???
Apalagi saya seorang perempuan.
Katanya saya akan jadi sekolah pertama untuk anak saya. Maka saya perlu mencari kepala sekolah yang berkonsep sama dengan saya soal pendidikan.
.
Saya tidak mau berlomba dalam soal pernikahan.
"Tapi kan menikah itu ibadah, urusan ibadah itu harus berlomba-lomba"
Mari kita berlomba dari segi kualitasnya. Saya jamin B.E.D.A

Minggu, 08 Januari 2017

#Menikah

M.E.N.I.K.A.H

Akhir-akhir ini mulai gusar dengan kata itu.
Bukan karena iri sama yang udah nikah.
Bukan.
Bukan karena udah ngebet.
Bukan.
Tapi kaya ada hal yang belum beres gitu, ada hal atau pandangan tentang itu yang ngga orang lain tahu. Dan saya juga ngga bakal maksa orang untuk tahu apalagi mengerti.

Banyak yang bilang, ini udah 2017 woy...
Trus kenapa dengan 2017???
Bukankah menikah itu logika nya sama dengan Rezeki, Maut, dan Hidup?
Iya ngga sih?
Apa saya salah ngaji gitu?
Kita ngga pernah tahu besok masih hidup atau tidak.
Kita ngga pernah tahu besok masih bisa makan atau tidak.
Ada yang tahukah???
Kalau ada yang tahu, kasih tahu saya yaa...
Begitu pun jodoh atau menikah.
Yakinkah orang yang ada didekat kita itu adalah jodoh kita?
Bisakah kamu menjamin dia imam atau makmum terbaik mu?
Ngga ada yang tahu.
Ngga ada yang jamin itu semua.

"Memang susah menyamakan pendapat.
Tapi hak asasi manusia kan kalau punya pendapat sendiri?"
Fix, lanjut berpendapat.

Belum lagi menikah yang menjadi patokan adalah harta, gaji, rumah, cantik dan berpendidikan tinggi atau yang lainnya.
Pernah ngalamin hal yang begitu?
Orang tua kurang setuju.
Orang tua takut kita ga sejahtera.
Calon mertua meragukan kita.
Calon mertua ga mau punya mantu kaya kita.
Jleb, deh ah...!!!
Ya. Dulu saya mungkin terbawa atmosfir itu.
Ikut-ikutan takut. Ikut-ikutan baper.
Alhamdulillah sekarang tersadarkan, balik lagi bahwa itu urusan Allah. Urusan kita cuman hari ini saja.
Ah,... Hanya bait doa yang bisa terus saya gaungkan dan permohonan ampun. Saya juga pernah salah.

Saya tersadarkan dengan kata "sekufu"
Simple nya A=A
Jika kamu mau 5 maka kamu harus menambahkan 2 dengan 3.
Begitu kan ya?
Baiklah.
Jadi jika mau yang kaya kita harus kaya dulu.
Jadi kita mau yang sudah punya rumah kita harus punya rumah dulu.
Jadi jika mau yang berpendidikan tinggi kita harus berpendidikan tinggi dulu.
Begitu pun,
Kalau mau yang baik sholatnya, sholat kita juga harus baik.
Kalau mau yang soleh, kita juga harus solihat.
Begitu kan??? Kalau salah koreksi aja ya.
Nah, sekarang yuk kita ngaca.
Udah kaya? Belum.
Turunan orang kaya? Bukan.
Udah punya rumah? Belum.
Gaji nya udah gede? Belum.
Berpendidikan tinggi? Ngga.
Cantik? Ganteng? Hhhhmmm.
Sholat nya udah bener? Hhhhmmm.
Ngajinya udah bener? Hhhhmmm.
Allah... Ya Allah... Jauh...
Masih jauh ternyata.

Saya pernah ikut seminar, intinya naikin kualitas diri.
Mau yang nilainya 8, tapi kita nya masih 5.
Tadi tuh... Masih perlu ditambah 3 lagi. Okay.

Intinya saya bukan tidak ingin menikah. Bahkan keinginan itu muncul dari 5 tahun yang lalu.
Namun, tahun demi tahun. Niat menikah terus berubah. Mengapa berubah? Karena tadi, ada perbaikan kualitas diri.
Bisa dibaca ya.
Umur 20 tahun, niat menikah karena pengen keluar dari rumah, gerah dengan keadaan rumah. Intinya pengen bebas.
Umur 21 tahun, niat menikah karena teman-teman sudah ada yang dilamar (iri coy...).
Umur 22 tahun, niat menikah karena selesai kuliah banyak teman-teman yang menikah, pada tebar undangan. And they are happy. Ya, saya ingin bahagia dengan menikah. 
Umur 23 tahun, ngga ada niat untuk menikah. Ingin sendiri saja.
Di umur ini saya sudah mulai rada waras. Inget A sama dengan A. Boro-boro A, jadi berjejer dengan huruf-huruf aja saya ngga pantas. Niat untuk perbaiki kualitas diri mulai tumbuh.
Umur 24 tahun, niat menikah karena ternyata sendiri itu ga asik. I need partner.
Butuh teman. Butuh some one yang siap ada di belakang saya untuk mensupport, ada di samping saya untuk membersamai, dan ada di depan saya untuk menjaga dan menahan saya bila langkah saya salah.
Simple ternyata.
Ga butuh yang kaya, karena saya bisa cari uang sendiri.
Ga butuh yang sudah punya rumah, karena hidup di dunia aja cuman numpang lewat doang.
Ga butuh yang berpendidikan tinggi, karena yang saya butuh yang tutur katanya baik.
Ga butuh yang ganteng, karena saya tidak akan cantik selamanya.

2017 ini.
Saya 25 tahun. Nanti tapi bulan Juli. Hehehe :D
Akankah niat saya masih sama?
Lets see.
Tapi sepertinya pendapat saya masih sama.

"Tapi Cha, orang tua aku tuh sama loh kaya keluargamu. Tetep dengan ukurannya dan patokannya?" edisi curhat dengan temen.
Kalau ngga berani ngomongin pendapat,
Buktikan dengan tindakan dan demo dengan DOA dan DOA.
Ga ada yang bisa maksa orang lain sekalipun itu keluarga untuk ikut pendapat kita. Mereka bebas berpendapat seperti kita.
DOA saja. Tugas kita hari ini cuman itu.
Inget hari ini aja, besok mah belum tentu masih hidup.

Berbohonglah Sekali Lagi (Dan lagi)

Hari ini aku kembali terpukau pada pesonamu. Terpesona pada paras indahmu. Tahukah kau? Aku sangat merindukanmu. Dua tahun memang bukan waktu yang pendek. Bagiku ini sangatlah panjang dan melelahkan. Kau pergi membawa rasaku. Dan aku tetap di sini tanpa ada satu celah sedikitpun untuk melupakanmu.
Kau hanya tersenyum manis dan melebarkan kedua tanganmu, memberi ruang untukku agar segera memelukmu. Ah, aku sungguh sangat merindukanmu.
Tapi aku masih terus mematung di sini. Menatap kau lebih dalam atau mungkin terlalu gengsi untuk memelukmu terlebih dahulu. Akhirnya kau yang menyerah dan mulai melangkahkan kaki mendekatiku. Seketika kau memelukku erat. Dan air mataku meleleh di pundakmu.
"Aku sangat merindukanmu." Bisikmu. Hampir tersamarkan oleh riuhnya bandara malam ini.
Aku tak sanggup berkata apa-apa.
Kau mulai melepaskan pelukan. Padahal aku masih ingin lama merasakannya.
Kemudian menatapku dan menyeka air mataku. Kau bilang kau tidak akan pergi lagi. Hal ini memberi sedikit kelegaan dalam hatiku, walau sebenarnya aku tahu kau berbohong.

*ini draf tahun 2015, yg masih dalam tahap edit awalnya. Hallo sekarang udah 2017, jadi saya post seadanya aja, tanpa tambahan apa2. Selama tahun 2016 ternyata saya ga nyentuh sama sekali ini blog.
Maafkeun yaa... Insyaallah mulai tahun ini mulai produktif lagi melalui "Berbohonglah Sekali Lagi".

Rabu, 08 Juli 2015

Kacamata Chaca

"Pakai kacamata itu seakan-akan dunia begitu bersinar"
Chaca Rhunniesha

Celitukan itu aku ucapkan tadi pagi saat teman kamarku berkomentar "Tumben pakai kacamata"
Aku hanya cengengesan  sambil berdiri depan cermin, membetulkan letak kacamataku...
Namun ketika aku jawab kementarnya dia malah membalas "Matamu aja yang bureem, sama kaya hidupmu"
Jlebbb!!!
Oh, My God.... Tega sekali dia bilang begitu... *Lebaynya mulai kambuh... hehehe

Hey, ini bukan tentang hidupku...
ini tentang mataku, tentang aku yang malas pakai kacamata, tentang mataku yang entah sudah meningkat sampai berapa minusnya...
Ingin rasanya aku maki dia dengan omongan itu... Tapi ini lah aku, yang ada malah cengengesan tak jelas depan cermin. Katanya kalau aku pakai kacamata lebih terlihat dewasa... Oh, no... Aku ingin terlihat muda ajaa, pengen terlihat remaja aja. Biar nggak ada yang nyangka umurku udah kepala dua *Ups, Pake dibilang lagi. Ketahuan atuh, Cha...

Oke, fokus kembali ke kacamata
tadi pagi mataku sangat berair, merah dan perih. akhirnya aku bongkar laci harta karunku *tuh, kan lebay mencari kacamataku yang entah dimana, kemudian semprot cairan pembersih kacamata dan jeng.. jeng... tambah cantik deh aku pake kacamata.
kenapa aku langsung pake kacamata???
Aduh, aku ngga mau kejadian yang dulu-dulu terulang... mataku super sensitif. efeknya bisa-bisa bola mataku yang berwarna putih membengkak dan balapan dengan yang warna hitam. dan efeknya berlanjut saat mendirikan sholat, bayangin aja ketika rukuk dan sujud mataku seakan-akan mau copot padahal dengan sekuat tenaga aku pejamkan mata saat itu. dan sakitnya... subhanallah banget...
Makanya mungkin untuk beberapa hari ini kayanya kudu pake kacamata dulu..

Minggu, 05 Juli 2015

Bukan Lagi Sekedar Angka

Alhamdulillah...
Hari ini tepat usia saya 23 tahun (tua banget ya... hehe)
Jadi inget ketika menginjak usia 20 tahun, waktu itu saya nangis bombay. Kenapa? Karena usia saya sudah tidak lagi belasan, bukan lagi anak remaja yang bisa seenaknya, sudah harus jadi contoh terbaik buat adik saya. Rasanya pundak saya semakin berat...

Namun, nyatanya di usia 21 hidup saya terasa begini-begini saja. Ngga ada peningkatan, yang ada peningkatan stress karena menjelang skripsi. Mental saya kembali diuji, saat dosen mentah-mentah menolak judul skripsi yang saya ajukan. Tetapi, tangan Allah tak berhenti untuk terus membantu saya, untuk terus di samping saya dan untuk terus menemani saya. Ya, saya yang banyak dosa ini, saya yang tak tahu diri ini. Sedih rasanya kalau mengingat semua itu...

Kini, di usia yang ke 23 tahun ini nyatanya masih sama seperti itu. Belum jadi apa-apa. belum jadi siapa-siapa. disaat teman-teman seusia saya mulai menapaki tangga yang lebih tinggi, saya masih terseok-seok menujunya. Saat teman-teman seusia saya sudah memiliki pasangan, saya masih setia dalam kesendirian. Masih asyik dengan dunia saya. Mungkin banyak yang bertanya kapan saya ikut menyusul mereka, saya seperti tertohok!!! Adakah yang mau menikahi saya??? Saya yang begitu bla bla bla seperti di atas. Rasanya langkah ini seperti terhenti dan menganjurkan saya untuk berputar arah. dan sorai-sorai di belakang saya berkata "Kamu belum pantas!!!" Hal ini yang selalu menyadarkan saya. "SAYA BELUM PANTAS".
Benarkah saya belum pantas??? Itu kata-kata yang selalu saya ucapkan saat berbalik arah. Bukan menyerah, tapi saya tahu ini belum saatnya. Ini bukan waktu untuk saya.
Mungkin kelak akan ada pangeran yang berlapangdada menerima saya, bersedia membimbing saya dan mau menjadi pilot kehidupan saya. . .
Kamu kah dia???

Ini bukan lagi sekedar angka, ini adalah sebuah tamparan yang berkali-kali menyadarkan saya dari mimpi panjang. menuntut saya untuk kembali berhitung tentang kasih sayang Allah, kasih sayang orang tua, kasih sayang kakak-kakak dan kewajiban saya menjadi seorang kakak. Dan yang terpenting adalah menghitung setiap butir dosa yang sudah saya lakukan, menghitung setiap luka yang saya torehkan di hati orang yang mengenal saya, dan menghitung besarnya pengampunan Allah disetiap nafas saya.

"Jika dosa itu berbau, mungkin tak akan ada yang mau mengenal, berteman, bersahabat apalagi menikahi saya. Terima kasih Yaa Allah, telah menutup semua aib saya. Terima kasih telah Kau hadirkan orang-orang terbaik di sekeliling saya. Terima Kasih untuk segalanya."




Jumat, 17 April 2015

#Malam tantangan OWOP 2

Tadi siang akau menelusuri jalan
Mereka bilang aku harus bangga
Karena negeriku, negeri yang kaya
Aku hanya diam

Setiba di rumah aku buka menutup saji di atas meja bututku
Kosong!
Aku beranjak membuka gentong tua, yang kata ibu untuk tempat beras
Sama, kosong!
Akhirnya aku memutuskan untuk berbaring
Walau perut masih saja berdendang ria
Mataku menatap lurus ke atap rumah
Ada bulan yang menginip dibalik geting pecah
Untung hujan tidak turun malam ini

Inilah negeriku yang kaya
Beratap tapi langit masih bisa kutatap
Beratap tapi matahari masih terus menyengat
Beratap tapi hujan masih saja menumpang dalam lelap

Esok aku harus kembali temui mereka
Dan bertanya,
"seperti inikah yan namanya negeri yang kaya?"


#OWOP 2